Maaf, Poco F3 Rasanya Belum Pantas jadi Flagship Killer!

Halo Assalamualaikum!

Ulasan kali ini bakal berkutat dengan sebuah pertanyaan, valid-kah pernyataan bahwa Poco F3 adalah Flagship Killer Reborn?

Saya sendiri ingin memberikan kesimpulan bahwa pernyataan tersebut invalid, atau minimal tidak sepenuhnya valid. Namun, tetap saja apa yang sudah Xiaomi lakukan dengen menghadirkan spesifikasi teknis di atas kertas yang sementereng ini, di level harga yang keterlaluan berbeda dari brand lain, patut kita apresiasi.

Jadi, mari kita bahas bagian per bagian dari Poco F3 ini, dengan mengesampingkan fanatisme dan militansi Anda. Setuju?



Seandainya ukuran flagship itu hanya perlu dipenuhi dengan penggunaan SoC kelas tertinggi, mungkin kelar perkara. Soalnya Poco F3 dibekali Snapdragon 870, SoC 5G milik Qualcomm, yang performanya sangar. Meski top tier-nya saat ini dipegang oleh Snadpragon 888, namun Snapdragon 870 banyak didapuk brand lain untuk produk flagship mereka. Sebut saja duet X60 series miliknya vivo, atau Find X3 varian reguler dari Oppo.

Apalagi jika dibandingkan harga Poco F3 ini dengan brand lain. Makin kelar sudah.

Sayangnya, komponen yang memakan biaya dalam pembuatan sebuah smartphone tak hanya SoC atau processor saja. Layar, kamera, atau bahkan fingerprint scanner juga ikut menentukan biaya produksinya.

Atau mungkin Anda baru tahu kalau riset UX itu memakan waktu dan biaya yang tak sedikit? Jangan-jangan selama ini Anda mengira bahwa Custom UI Android itu tinggal download di grup Facebook lalu dipakai begitu saja sama brand di produk peranti pintarnya?

Nampaknya, di sini saya udah memberi bocoran nih, bahwa dalam masalah UX, Poco F3 atau mungkin lebih general lagi, smartphone ber-MIUI belum bisa menyamai capaian flagship dari brand lain. Setidaknya menurut saya.

Saya yang sudah pakai MIUI dari tahun 2011, dari yang tadinya ngefans banget, pengen install Custom ROM ini di semua Android yang saya beli, hingga akhirnya memudar dan makin tak nyaman dengannya. Bahkan sejak Redmi Note 3 Pro, saya selalu ingin ganti MIUI di hape Redmi saya, dengan ROM lain berbasis CyanogenMod atau LineageOS.

Belakangan ini, MIUI bagai bunga kembang tak jadi. Mengubah prinsip dasar UX milik Android, mencoba mengejar iOS, dan berujung dengan menghasilkan kecanggungan bagi saya, seorang pengguna Android berbagai brand, dan sebuah Apple iPhone XR yang mungkin akan lama tak berganti.

Tenang saja, Poco F3 juga menawarkan tampilan fisik yang sungguh menawan dan pantas bersaing dengan flagship lain koq. Saya tak mempermasalahkan frame body-nya yang bukan dari logam. Backcover kaca boleh juga dianggap nilai plus, meski bagi saya semuanya akan kembali terbalut protective case seandainya akan saya pakai untuk jangka panjang.

Tapi memang, looks dari sisi belakangnya sangat tempting alias menawan sekali. Satu-satunya penyesalan saya hanyalah karena tak bisa membeli yang varian warna putih. Backcover glossy warna gelap itu sangat rentan mencetak bekas jari dan minyak, serta butuh effort lebih saat pengambilan beauty shots untuk video review-nya.

Sisi depan smartphone ini sebetulnya mentereng sekali, jika yang Anda lihat hanya tabel spesifikasinya. Layar Dynamic AMOLED E4, terasa sangat menjanjikan. But sorry to say, saya pernah tak sengaja menyimpannya di atas meja, bersebelahan dengan Galaxy Note 20 Ultra milik istri saya. Dan perbedaan kelas layarnya sangat jauh terlihat. Indikator paling mudah, hitam layarnya Poco F3 kalah pekat. Reproduksi berbagai warna lain juga sama jomplangnya.

Sungguh saya sebetulnya tak senang membanding-bandingkan smartphone. Apalagi dari brand yang punya militansi fans tinggi, seringkali kesehatan mental ini terusik membaca respon-responnya.

Namun, Poco F3 didapuk sebagai Flagship Killer Reborn. Termasuk gaya presentasi produk pas launching-nya yang selalu membanding-bandingkan dengan spesifikasi dan juga harga produk lain. Maka terpaksa ulasan saya pun jadi ikut-ikut membandingkan.

Tapi mari kita akhiri di sini, saya percaya setiap produk punya keunggulan di satu sektor, yang mungkin diimbangi kekurangan di sektor lain. Dan saya yakin, saat presentasinya kekurangannya ini takkan banyak dibahas.



Bagi saya, ada dua kekurangan Poco F3 yang terasa saat dalam penggunaannya.

Pertama, battery yang cenderung cepat habis meski hanya untuk penggunaan casual dan banyak idle. Baterai 4.500 mAh-nya nampak masih kurang awet rupanya. Dengan pemakaian ringan, di mana screen-on-time hanya berkisar 3 jam saja, dari penuh hingga baterainya tersisa hanya 15%, dalam dua kesempatan pengujian, total battery usage-nya belum mampu mencapai 24 jam.

Saya sinyalir ini dari idle management yang belum sempurna, atau dari refreh rate layar 120Hz yang belum adaptif.

Kedua, autofocus yang terlihat maju mundur, atau ndangdut kalo saya bilang. Mungkin ini bug semata, yang bisa diperbaiki dengan update software kamera nantinya. Namun jika dibiarkan, sedih rasanya smartphone 5-jutaan punya karakter autofocus ala kamera hape sejutaan.

Ah, install GCam aja beres koq. Jika ini jawaban Anda, maka hal ini justru makin melemahkan pernyataan Poco F3 adalah Flagship Killer. Setahu saya, kebanyakan flagship itu sudah sangat nyaman digunakan, as it is, tak perlu dioprek-oprek dulu.

Ketika sampai di bagian naskah ini, sebetulnya saya baru menguji performa Poco F3 buat gaming, hehe. Dan saya cuma mainkan 1 game saja, seperti biasa PUBG Mobile. Bahkan saya hanya menguji 1 sesi game, selama 12 menit, yang menghabiskan baterai sebanyak 4% dalam kondisi terhubung jaringan wi-fi dan tanpa simcard terpasang.

Suhu? Jelas terasa menghangat hampir merata di seluruh sisi belakang. Saya bermain di settingan grafis HDR dengan framerate tertinggi di Extreme. Kalau mau, Anda juga bisa unduh grafis tertinggi Ultra HD, namun framerate maksimalnya akan turun ke Ultra.

Dan saya bisa bilang, performa grafisnya sungguh jempolan. Gampelay berjalan sangat mulus, layarnya pun responsif. Jadi faktor sisanya tinggal skill bermain Anda. Skor Antutu Benchmark-nya yang 666-ribuan terwakili dengan performa ini.

Namun jika kita jeli, kita juga bisa lihat bahwa selama pengujian Antutu, suhu smartphone ini naik cukup drastis dari 32.7 ke 41.2 derajat celsius, alias naik 8,5 derajat dengan mengonsumsi baterai sebanyak 5%.

Tapi Poco F3 juga menyuguhkan kemampuan multimedia yang top dengan hadirnya dual speaker yang cukup simetris, dengan kedalaman suara yang baik, dan power yang sangat cukup terasa. Tidak cempreng, tidak sember, saya rasa dalam kondisi tertentu Anda takkan membutuhkan tambahan bluetooth speaker karenanya.

Info saja, di sektor audio ini Poco F3 ini sudah sangat seperti flagship, dalam hal meniadakan jack audio 3,5mm hehehe.

Anyway, selain masalah autofocus di perekaman video indoor, sebetulnya kamera Poco F3 tidak punya kendala lain dan cukup bisa diandalkan. Kecuali buat upload IG Story yang bisa dikatakan masih burik.

Di kondisi indoor malam hari dengan bantuan lampu ruangan saja, hasilnya tergolong baik. Terbukti saat dibandingkan dengan menggunakan nightmode, perbedaannya tak mencolok.

Meski memang kamera depannya agak kepayahan di kondisi yang sama, sebetulnya dalam kondisi ideal, selfie-nya tergolong baik, konsisten, dan tepat. Gampangnya, tinggal point and shoot, foto yang pas akan dengan mudah dihasilkan.

Tangan yang stabil dibutuhkan saat memfoto, mengingat absen-nya OIS, dan saya merasa di jendela bidiknya terasa mudah goyang.

Padahal perekaman videonya tergolong stabil sekali, meski hanya dibantu EIS. Mau di Full HD 1080p ataupun 4K, kestabilan videonya tetap terjaga. Hanya memang kemampuan processing yang kuat masih terbentur batasan dari sensor kamera sehingga resolusi dan framerate maksimal perekaman video, setara dengan midrange phone yang mentok di Full HD 60fps, atau 4K 30fps. Sayang memang.

Jika pertanyaannya diubah menjadi apakah Poco F3 ini worth the money? Jawabannya worth banget, dengan sedikit catatan di 2 minus yang tadi saya sebutkan, semoga segera diperbaiki Xiaomi. Dan juga Anda wajib terima segala kelebihan dan kekurangan MIUI, sama seperti saat Anda menikahi seseorang, huehehe.

Namun sayang, pertanyaannya adalah validkah pernyataan bahwa Poco F3 adalah Flagship Killer Reborn?

Dan sayang sekali, jawaban saya adalah belum valid. Masih banyak PR buat Poco F3 bisa menyandang predikat tersebut. 

Dan kalau Anda hanya mementingkan performa, lebih spesifiknya processor, berbanding harga, bisa jadi Poco X3 Pro lebih valuable. Tapi saya tak berminat mencobanya.

Sip, semoga poin-poin pembahasan kali ini bisa Anda dapatkan. Buat yang tertarik meminang Poco F3 bekas review ini, segera menuju link ke lapak saya di Tokopedia ya!

Untuk saat ini, saya stay dengan iPhone XR dan Samsung Galaxy A52 saya. Info saja ini mah, buat yang penasaran ingin tahu.

Sekali lagi saya ingatkan, jangan lupa buat harimu lebih menyenangkan dan berbahagia, dengan SELALU BERSYUKUR.

Dari Kota Cimahi, Aa Gogon Pamit undur diri.

Wassalamu'alaikum wr. wb!

Comments

  1. Setuju dengan pernyataan "kebanyakan flagship itu sudah sangat nyaman digunakan, as it is, tak perlu dioprek-oprek dulu." Karena engga semua orang bisa dan paham dengan oprek untuk memaksimalkan dibandingkan digunakan secara fungsional

    ReplyDelete
  2. Trus flagship killer yang saat ini beredar apa dong Oom dengan harga mirip2 dengan F3 ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. entah lah Om, kan tidak ada keharusan juga harus ada flagship killer di pasaran. Dulu ini bagiannya OnePlus, tapi sudah beberapa seri terakhir, harganya udah beneran flagship juga hehe

      Delete
  3. Kl menurut abg lebih baik beli xr, samsung a52, atau poco f3 ini ? Saya masih bingung sy suka kamera yg bagus tpi xr tak ada 5g, saya suka main game tapi a52 chipsetnya rendah cuma 720g, kalo pocong f3 kyknya joss di game tapi kameranya gk enak dibawa untuk ngeinstastory 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tetep F3 kayaknya bang, masalah camera tinggal porting GCam atau app 3rd party banyak yg bagus, atau tunggu update Poco, ini kayaknya cuma masalah software

      Delete

Post a Comment

Popular Posts